Rabu, 15 Oktober 2008

Design Tancho


design billboard


design poster




design ini dibuat untuk tugas kampus, yang dibuat adalah produk tancho, tugasnya adalah membuat produk ini menjadi lebih menarik,karena produk tancho adalah produk untuk orang tua, dibikinlah iklan ini agar anak muda mencoba produk ini dan tertarik memakainya. karena target market iklan ini adalah anak muda berumur 20-29, produk ini adalah produk untuk kesehatan rambut dan cocok untuk anak muda yang ingin rambutnya terlihat berkilau dan sehat. sesuai dengan tag linenya "tancho menyempurnakan rambutmu"

cv

Curriculum Vitae


Personal Details

Full Name : Pratiwi
Sex : Female
Place, Date of Birth : Jakarta, 06 Desember 1988
Nationality : Indonesia
Marital Status : Single
Height, Weight : 160 cm, 45 kg
Health : Perfect
Religion : Islam
E-mail : pratiwi_dec@yahoo.com

Educational Background

1991-1993 : TK Al-Chasanah, Jakarta
1994-2000 : SD Al-Chasanah , Jakarta
2001-2003 : SMP Negeri 79 Jakarta
2004-2006 : SMK Negeri 2, Jakarta
2006-NOW : STIKOM LSPR (advertising), Jakarta

photography














Sosiology - 2

Tipe – tipe Kelompok Sosial :



In – Group dan Out – Group

Dalam proses sosialisasi kelompok sosial merupakan tempat dimana individu mengidentifikasikan dirinya sebagai in-groupnya. Jelas bahwa apabila suatu kelompok sosial merupakan “in-group” atau tidak bersifat relatif dan tergantung pada situasi – situasi sosial yang tertentu. Sedangkan Out-group diartikan oleh individu sebagai kelompok yang menjadi lawan in-groupnya. Sikap – sikap in-group pada umumnya didasarkan pada faktor simpati dan selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota – anggota kelompok.

Sikap out-group selalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud antagonisme atau antipati. Perasaan in-group dan out-group atau perasaan dalam serta luar kelompok dapat merupakan dasar suatu sikap yang dinamakan etnosentrisme. Kecenderungan untuk menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan – kebiasaan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang terbaik apabila dibandingkan dengan kebiasaan – kebiasaan kelompok lainnya. Kecenderungan tadi disebut dengan etnosentrisme, yaitu sikap untuk menilai unsur – unsur kebudayaan lain dengan mempergunakan ukuran – ukuran kebudayaan sendiri.

Di dalam proses tersebut sering kali digunakan stereotip, yakni gambaran atau anggapan – anggapan yang bersifat mengejek terhadap suatu objek tertentu. Keadaan demikian sering kali dijumpai dalam sikap suatu kelompok etnis terhadap etnis lainnya misalnya golongan orang – orang berkulit putih terhadap orang – orang Negro di Amerika Serikat.

In – group dan out – group dapat dijumpai di semua masyarakat, walaupun kepentingan – kepentingannya tidak selalu sama. Dalam masyarakat – masyarakat yang bersahaja mungkin jumlahnya tidak begitu banyak apabila dibandingkan dengan masyarakat – masyarakat yang sudah kompleks, walaupun dalam masyarakat – masyarakat yang sederhana tadi pembedaan – pembedaannya tak begitu tampak dengan jelas. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa setiap kelompok sosial, merupakan in – group bagi anggotanya. Konsep tersebut dapat diterapkan, baik terhadap kelompok – kelompok sosial yang relatif kecil sampai yang terbesar selama pa anggotanya mengadakan identifikasi dengan kelompoknya.


Primer dan Sekunder
Dalam klasifikasi kelompok sosial, pembedaan yang luas dan fundamental merupakan pembedaan antara kelompok – kelompok kecil dimana hubungan antara anggota – anggotanya rapat sekali disuatu pihak, dengan kelompok – kelompok yang lebih besar di pihak lain. Charles Horton Cooley mengemukakan perbedaan antara kelompok primer dengan kelompok sekunder yang ditulis dalam Social Organization pada 1909.

Menurut Cooley, kelompok primer adalah kelompok – kelompok yang ditandai dengan ciri – ciri kenal - mengenal anatara anggota – anggotanya serta kerjasama erat yang bersifat pribadi. Sebagai salah satu hasil hubungan yang erat dan bersifat pribadi tadi adalah peleburan individu – individu dalam kelompok – kelompok sehingga tujuan individu menjadi juga tujuan kelompok. Dari apa yang dikemukakan oleh Cooley, dua hal yang penting, yaitu pertama – tama bahwa dia bermaksud untuk menunjukkan pada suatu kelas yang terdiri dari kelompok – kelompok yang kongkret seperti misalnya keluarga, rukun warga, dll. Hal kedua adalah istilah saling mengenal dimana Cooley terutama menekankan pada sifat hubungan antar individu seperti simpati dan kerjasama yang spontan. Kelompok – kelompok tersebut mempunyai makna utama dalam pelbagai arti.

Hasil hubungan timbal – balik antara anggota – anggota kelompok tersebut secara psikologis merupakan peleburan individu dengan cita – citanya masing – masing sehiungga tujuan dan cita – cita kelompok. Lagi pula secara mutlak tak dapa dikatakan bahwa anggota suatu kelompok kecil selalu saling kenal – mengenal ( face-to-face relation ).

Paguyuban dan Patembayan
Buah pikiran tentang paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesellschaft) dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies. Hubungan – hubungan positif antara manusia selalu bersifat gemeinschaftlich atau gesellschaftlich.

Paguyuban merupakan bentuk kehidupan bersama di mana anggota – anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis, sebagaimana dapt dimpamakan dengan organ tubuh manusia atau hewan. Bentuk paguyuban terutama akan dapat dijumpai di dalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga dan lain sebagainya.

Menurut Tonnies suatu paguyuban mempunyai beberapa ciri pokok, yaitu sebagai berikut.
Intimate, yaitu hubungan menyeluruh yang mesra.
Private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi, khusus untuk bebetapa orang saja.
Exclusive, yaitu hubungan tersebut hanyalah untuk “kita” saja dan tidak untuk orang – orang lain di luar “kita”.

Tiga tipe paguyuban, yaitu sebagai berikut :
1. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood)
2. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft by place)
3. Paguyuban dengan jiwa – pikiran (gemeinschaft by mind)

Sebaliknya, patembayan merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Bentuk gesellschaft terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal – balik, misalnya ikatan antara pedagan, organisasi dalam suatu pabrik dan lain sebagainya.

Sebagai analisis selanjutnya, dapatlah diperbandingkan antara keompok primer serta kelompok sekunder di satu pihak dengan paguyuban, serta patembayan di lain pihak. Baik Tonnies maupun Cooley terpengaruh oleh aliran romantik yang menidam – idamkan kehidupan bersama yang rukun dan yang damai sebagaimana dapat dijumpai pada masyarakat – masyarakat yang masih bersahaja.

Mereka prihatin melihat masyarakat modern telah goyah dan pudar sehingga mereka menggambarkan masyarakat sederhana sebagai bentuk ideal yang serlalu dilebih – lebihkan.

Cooley lebih mementingkan asas kerukunan dan saling mengenal antara perseorangan. Tonnies lebih mementingkan kaidah – kaidah dalam kelompok – kelompok sosial sehingga di dalam suatu paguyuban misalnya dapat timbul keompok primer maupun kelompok sekunder secara berdampingan.

Formal Group dan Informal Group
Kalau suatu organisasi sudah dibentuk, ia diasumsikan akan merupakan suatu identitas tersendiri yang khusus. Apabila beberapa kelompok saling berhubungan, maka terjadi perkembangan organisasi sosial, walaupun tidak semua kolektivitas menjadi organisasi formal.

Kriteria rumusan organisasi formal atau formal group merupakan keberadaan tata cara untuk memobilisasikan dan mengkoordinasikan usaha – usaha, yang mencapai tujuan berdasarkan bagian – bagian organisasi yang bersifat spesialisasi. Apabiila hubungan – hubungan antar anggota formal group dan semua kegiatan didasarkan pada aturan – aturan yang sebelumnya sudah ditentukan, tidak senua masalah dapat ditanggulangi. Proses interaksi sosial dan kegiatan –kegiatan dalam organisasi tidak mungkin semua dapat ditegakkan. Organisasi biasanya ditegakkan pada landasan mekanisme administrasi.

Informal group tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu atau pasti. Kelompok – kelompok tersebut biasanya terbentuk karena pertemuan – pertemuan yang berulang kali dan itu menjadi dasar bagi betemunya kepentingan – kepentingan dan pengalama yang sama.


Membership Group dan Reference Group
Perbedaan antara membership group dengan reference group berasal dari Robert K. Merton. Membership group merupakan kelompok di mana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut. Batas – batas yang dipakai untuk menentukan keanggotan seseorang pada suatu kelompok secara fisik tidak dapat dilakukan secara mutlak. Perbedaan derajat interaksi membentuk kelompok – kelompok tersendiri. Ini terjadi karena faktor – faktor kepentingan yang sama.

Sedangkan reference group ialah kelompok – kelompok ssial yang menjadi acuan bagi seseorang ( bukan anggota kelompok tersebut ) untuk membentuk pribadi dan prilakunya.

Perbedaan antara bekas anggota dengan mereka yang bukan anggota merupakan hal yang penting karena kenyataan bahwa pada umumnya bekas – bekas anggota tidak akan mau menganggap bekas kelomppoknya sebagai reference groupnya karena pada umumnya pnanggalan keanggotaan didasarkan pada kenyataan adanya konflik antara kepentingan – kepentingan kelompok. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan dalam nilai dan pola – pola perilaku.

Kelompok Okupasional dan Volunter
Pada masyarakat seseorang mungkin saja melakukan berbagai pekerjaan sekalius. Artinya di dalam masyarakat tersebut belum ada spesialisasi yang tegas. Akan tetapi masyarakat tersebut pasti terpengaruh oleh dunia luar.

Kelompok Olupasional yang merupakan kelompok yang tersiri dari orang – orang yang melakukan pekerjaan sejenis. Kelompok – kelompok semacam ini kemudian sangat besar peranannya di dalam mengarah kepribadian seseorang ( terutama yang menjadi anggotanya ). Dengan demikian bekembannya masyarakat, pengkhususan dikembangkan secara ilmiah dan dipusatkan kepada lembaga – lembaga tertentu.

Salah satu akibat dari terpenuhnya kepentingan – kepentingan itu, baik yang bersifat material maupun spiritual, adalah munculnya kelompok – kelompok volunter. Kelompok volunter mencakup orang – orang yang mempunyai kepentingan sama, namun tidak mendapatkan perhatian masyarakat yang semakin luas daya jangkaunya tadi. Dengan demikian, maka kelompok – kelompok volunter akan dapat memenuhi kepentingan – kepentingan anggotanya secara individual, tanpa menggangu kepentingan masyarakat secara umum.

Kelompok – kelompok volunter itu mungkin dilandaskan pada kepentingan – kepentingan primer. Kepentingan primer harus dipenuhi, karena manusia harus dapat hidup wajar.

Sosiology-1

Bentuk – bentuk akomodasi :

Coersion : Paksaan
Contoh : Kegiatan atau aktifitas yang dilakukan dengan keadaan terpaksa dan biasanya tidak berkenan dengan kepuasan batin

Compromise : Perjanjian
Contoh : Suatu proses kerjasama antara beberapa pihak dapat berbentuk ucapan maupun hitam diatas putih

Arbitration : Pewasitan atau perdamaian
Contoh : Perujukkan atau memperbaiki hubungan antara pihak pertama dan kedua

Mediation : Perantaraan
Contoh : Penjualan rumah atau bangunan melalui pihak ketiga

Conciliation : Perdamaian
Contoh : proses menyatukan kedua belah pihak atau beberapa pihak untuk memperbaiki hubungan agar menjadi lebih baik



Stalemate : Perseteruan yang tidak menemukan jalan keluar
Contoh : Pembuatan jalur busway koridor Pondok Indah yang sampai sekarang belum menemukan jalan keluar yang terbaik untuk masyarakat daerah tersebut

Adjudication : Memutuskan
Contoh : Suatu proses putusan mahkamah agung kepada tersangka atau pihak – pihak yang tidak bersalah

Psychology

Cultural Identifiers

Bahasa yang mengandung bias budaya. Dengan ungkapan lain bahwa bahasa dapat dipandang sebagai perluasan budaya. Sebenarnya setiap bahasa menujukkan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin, dan kebutuhan pemakaiaannya

Kata – kata juga bersifat ambigu, karena kata – kata mempresentasikan persepsi dan interpretasi orang- orang yang berbeda- beda, yang menganut latar belakang sosial budaya yang berbeda- beda pula.

Oleh karena itu banyak berbagai macam bahasa menurut kebudayaannya masing – masing. Budaya juga sangat terikat oleh persepsi.

Menurut Larry A. Samovar dan Richard yang mengemukakan enam unsur budaya yang secara langsung mempengaruhi persepsi ketika kita berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, yaitu :
Kepercayaan (beliefs), nilai (values), dan sikap (attitudes)
Pandangan dunia (worldciew)
Organisasin sosial (social organization)
Tabiat manusia (human nature)
Orientasi kegiatan (activit orientation)

Contohnya banyak budaya timur, termasuk cina, jepang, dan sebagian besar suku di negeri kita diluar Amungme secara tradisional juga menganut agama ini. Mereka berupaya menjaga harmoni dengan alam.

Kemudian dengan contoh lain budaya barat yang identik dengan kehidupan bebasnya, dan sedangkan berbeda jauh dengan kebudayaan kita yang sangat –sangat menganut hukum, norma – norma, dan juga agama yang sangat kuat.

Media Relation

Latar Belakang

Saat ini, kita semua sedang berada dalam sebuah revolusi yang berkaitan dengan teknologi dan budaya. Pengertian ‘revolusi' ini sesungguhnya lebih cocok bagi mereka yang saat ini sudah dewasa. Namun bagi anak-anak dan remaja, dunia mereka adalah betul-betul dunia yang tumbuh dalam era digital. Media interaktif, bagi anak-anak dan remaja bukanlah hal baru karena hal itu sudah mereka kenal sejak mereka lahir. Semenjak video game mulai populer pada tahun 1980an, maka perkembangan industri digital menjadi semakin cepat yang didukung dengan semakin populernya internet di kalangan masyarakat.
Perkembangan industri digital yang sangat cepat itu menjadi tantangan berat bagi dunia pendidikan dan orangtua dalam menyiapkan anak didik untuk dapat menghadapi ‘banjir informasi' yang dibawa oleh media digital melalui beraneka ragam bentuk dan format. Tanpa ada penyiapan yang sistematis dan sungguh-sungguh, maka bisa diperikirakan bahwa anak-anak dan remaja akan menjadi korban dari perkembangan teknologi media yang didominasi dengan hiburan yang cenderung tidak sehat dengan muatan bisnis yang kental.
Untuk media televisi misalnya, dampak negatif dari tayangan-tayangan yang tidak aman tentunya perlu diwaspadai. Dewasa ini, media televisi sangat memengaruhi anak-anak dengan program-programnya yang banyak menampilkan adegan kekerasan, hal-hal yang terkait dengan seks, mistis, dan penggambaran moral yang menyimpang. Tayangan televisi yang sangat liberal membuat tidak ada lagi jarak pemisah antara dunia orang dewasa dan anak-anak. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di negara-negara liberal, namun juga di negara-negara berbudaya timur, karena besarnya infiltrasi media televisi di berbagai penjuru dunia. Dengan kata lain, anak-anak zaman sekarang memiliki kebebasan untuk melihat apa yang seharusnya hanya ditonton oleh orang dewasa.
Namun kita sebagai warga masyarakat Indonesia yang patuh dan peduli terhadap anak-anak penerus bangsa Indonesia, kita harus sigap dan tegas tentang dampak negative dari media yang dapat merusak mental dan fikiran anak-anak zaman sekarang.
















Kerangka Berfikir

Definisi – definisi Media Literacy :
Apa itu media literacy?
Media literacy, yang diterjemahkan menjadi ‘melek media’, adalah kemampuan untuk memilah, mengakses, dan menganalisis isi media. Media literacy adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh siapa saja, sehubungan dengan banyaknya media massa yang ada di tengah-tengah kita.

Mengapa media literacy itu penting?
Fakta bicara, tidak semua isi media massa bermanfaat bagi khalayak. Banyak di antaranya yang tidak mendidik dan hanya mengedepankan kepentingan pemilik/pengelola media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Media literacy bermaksud membekali khalayak dengan kemampuan untuk memilah dan menilai isi media massa secara kritis, sehingga khalayak diharapkan hanya memanfaatkan isi media sesuai dengan kepentingannya.
Yang disebut media massa sendiri itu apa?
Media yang digunakan secara massal untuk menyebarluaskan informasi kepada khalayak. Informasi itu bisa berupa hiburan, atau pendidikan. Media massa terdiri media cetak dan media elektronik. Yang termasuk media cetak adalah koran, majalah, tabloid, newsletter, dan lain-lain. Sedangkan media elektronik adalah televisi dan film (media audiovisual), juga radio (media audio).
Apa sih sesungguhnya fungsi media massa?
Setidaknya ada empat, yaitu menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), membentuk opini atau pendapat (to persuade), dan menghibur (to entertain). Media literacy muncul didorong kenyataan bahwa fungsi media massa lebih dominan dalam hal menghibur, dan mengabaikan fungsi mendidik.
Apa itu HARI TANPA TIVI?
HARI TANPA TIVI adalah aksi bersama masyarakat mematikan televisi selama sehari, yaitu pada hari Minggu tanggal 22 Juli 2007. Sama dengan tahun sebelumnya, HARI TANPA TIVI kali ini juga dilakukan menjelang Hari Anak, sebagai wujud keprihatinan banyaknya acara televisi yang berbahaya bagi anak-anak. HARI TANPA TIVI 2007 dilakukan secara serempak di lima kota: Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Makasar.
Mengapa harus ada HARI TANPA TIVI?
Ini bukanlah sebuah aksi yang bermaksud memusuhi televisi. Sama sekali tidak. Aksi Hari Tanpa Tivi justru didorong oleh keinginan untuk menyehatkan televisi Indonesia, yang saat ini didominasi oleh tayangan-tayangan yang tidak bermanfaat dan tidak mencerdaskan penontonnya.
Apa manfaat Hari Tanpa Tivi bagi publik?
· Memberikan penyadaran pada publik bahwa menonton televisi adalah sebuah pilihan.
· Membuka kemungkinan melakukan kegiatan lain yang produktif (jadi, jangan cuma di depan tivi, dong…)
· Dengan melakukan aksi bersama, publik dapat meminta industri televisi agar memberikan yang terbaik bagi kepentingan pencerdasan publik.
Apa manfaat Hari Tanpa Tivi bagi televisi sendiri?
· Aksi bersama mematikan televisi pada hari Minggu, 22 Juli 2007 memberikan pesan kuat kepada industri televisi mengenai keprihatinan masyarakat yang kian meningkat terhadap buruknya kualitas program televisi.
· Aksi ini bermaksud memberi dukungan pada program televisi yang berkualitas dan bermanfaat, sekaligus mendorong stasiun televisi dan pihak lain yang terkait untuk menghilangkan program-program yang tidak mendidik sembari memperbaiki terus kualitas programnya.
Ketika publik selalu dibombardir dengan program televisi yang penuh pola pencitraan identitas yang menunggal dan stererotipe, apa yang bisa memotong hal tersebut? Kemungkinan jalan tengahnya adalah memahami literasi media. Konsep literasi media ini merupakan lanjutan dari konsep literasi, atau melek huruf. Konsep literasi media lebih kompleks karena berkait dengan berbagai konsep lain, yaitu: konsep pendidikan media, berpikir kritis dan aktivitas memproses informasi.

James Potter, dalam Media Literacy (2001) memberikan tiga gambaran definitif ihwal literasi media. Definisi pertama, literasi media sebagai perspektif yang digunakan secara aktif ketika penonton “berhadapan” dengan media untuk menginterpretasi makna pesan yang diterima. Penonton membangun perspektif tersebut melalui struktur pengetahuan yang memerlukan “alat” (berupa kemampuan atau kecakapan publik), dan “bahan mentah” (yakni informasi dari media dan dari dunia nyata). Akses aktif atas media berarti memahami pesan dan secara sadar berinteraksi dengan pesan (media) tersebut.

Definisi kedua menunjukkan bahwa literasi media adalah seperangkat kecakapan penting dalam proses mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pesan dalam beragam bentuk. Literasi media digunakan sebagai model instruksional berbasis eksplorasi yang mendorong individu mempertanyakan secara kritis atas apa yang dilihat, dengar, dan baca. Pendidikan literasi media diasumsikan bisa diajarkan secara terencana kepada masyarakat tertentu. Pendidikan media bisa mendampingi publik agar dapat mengkritisi pesan media untuk mendeteksi propaganda, sensor, dan bias dalam berita dan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan, termasuk memahami struktur, kebijakan dan ideologi media.

Sedang definisi ketiga mengetengahkan pemahaman bahwa literasi media adalah sesuatu yang lebih luas dari sekadar mengkonsumsi informasi. Seorang yang memahami media (media literate) berarti individu tersebut dapat pula memproduksi, menciptakan dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk. Lalu, literasi media didefinisikan juga sebagai kecakapan untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi yang responsif terhadap perubahan bentuk pesan dalam masyarakat. Konkretnya, kemampuan individu tidak hanya dalam hal mengumpulkan informasi, melainkan juga memproduksinya sesuai dengan kondisi aktual dalam kehidupan bersama.


Definisidari Melek Media
Sebelum media berkembang pesat seperti dewasa ini, yang diperlukan oleh setiap warga masyarakat adalah cukup jika melek huruf (literate) yang memungkinkan mereka terampil membaca dan menulis. Ternyata sekarang kemampuan itu sudah tidak lagi memadai dan harus dilengkapi dengan melek yang lain, yaitu media literacy (melek media).
Pada dasarnya melek huruf di era pra-TV telah melatih pikiran untuk menjadi reflektif, bersuara untuk berartikulasi. Membandingkan hal itu dengan masa sekarang, Pei (1976) mengatakan bahwa membaca merupakan proses pembebasan, bersifat individual dan demokratis. Membaca tidak hanya memberikan pilihan yang luas akan topik, tapi juga kesempatan menjadi kritikal -- untuk menelusuri kembali dan mengkaji apa yang disampaikan oleh penulis, membandingkannya dengan ide dan sikap Anda sendiri, lalu mencernanya dengan ramuan enzim Anda sendiri.
Amat berbeda dengan pembawaan sebagai khalayak TV dan media audiovisual lainnya (penerima yang bersifat pasif) -yang memang diandalkan oleh para propagandis radio dan TV agar pesan-pesan mereka menenggelamkan dan menghasilkan efek yang mereka inginkan. Sebagai dampak dari kecanduan TV ada yang menyebutkan telah terjadinya "the decline of literacy". Dari sini muncul pendapat bahwa pengenaan yang terus-menerus terhadap TV telah menanamkan kepasifan pada diri khalayak.
Dalam pandangan Dahl (1983) dewasa ini jika seorang warga negara mau mampu mencerna pesan-pesan media massa, ia memerlukan basis untuk mengevaluasi. Dan basis itu haruslah ada sejak masih kecil. Karena itu, anak-anak perlu dilatih untuk mendekati teks visual seperti bagaimana mereka menguasai huruf dan angka. Sejak masa anak-anak seseorang perlu diakrabkan dengan lexicon atau peristilahan khas yang berlaku di dunia audio dan visual.
Tantangan pedagogis itu harus diatasi oleh institusi kultural bersama pemerintah, namun tanggung jawab utama tetap ada di rumah. Karena di rumahlah arena konsumen tempat dibentuknya kriteria tentang yang benar dan salah dalam kaitan hubungan kita dengan media.
Agar isi pesan dapat dicerna oleh anak, perlu diberikan informasi tentang ide yang ada di balik program; perlu penjelasan mengenai kata-kata asing dan informasi tentang efek khusus (special effects) seperti lighting dan angle kamera; perlu menciptakan situasi diskusi menyangkut pengalaman tiap anak yang diterima dari program TV dan isi pesannya.







Konsep Media Literacy :
Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001) mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur. Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy.
Yang pertama dari National Leadership Conference on Media Literacy (Baran and Davis, 2003) yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari ahli media, Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Yang ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi. Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Media literasi merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut.
Terdapat dua pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan James Potter (Potter, 2001). Silverblatt menyatakan bahwa media literacy memiliki lima elemen yaitu:
(1) Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat
(2) Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa
(3) Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesan-pesan media
(4) Sebuah kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri
(5) Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.
Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003) memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:
(1) Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal
(2) Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
(3) Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan

Di banyak negara maju, pendidikan melek media sudah menjadi agenda yang penting dengan memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Inggris, Jerman, Kanada, Perancis, dan Australia merupakan contoh negara yang telah melaksanakan pendidikan melek media di sekolah.
Tabel di bawah menunjukkan perbandingan perkembangan melek media di berbagai negara (Media Literacy: Ability of Young People to Function in the Media Society, 2000)
Kemudian Konsep melek media (media literacy) yang telah dikembangkan sejak pertengahan tahun 70-an. Kemudian tahun 1976 sebuah konferensi yang disponsori oleh Ford Foundation, Markle Foundation, dan National Science Foundation mengusulkan agar yang menjadi komponen dari kurikulum melek media mencakup beberapa hal. Antara lain kebiasaan-kebiasaan produksi acara TV; analisis daya pikat (appeal) TV; karakter dan peran isyarat-isyarat non-verbal; overview sejarah dan struktur industri penyiaran; basis ekonomi untuk televisi; analisis format-format tipikal untuk programming hiburan; keprihatinan yang pokok tentang efek negatif programming; analisis nilai-nilai yang digambarkan dalam isi TV; standar-standar untuk kritik isi TV; dan jika mungkin, pengalaman langsung dengan peralatan TV.
Pada Tahun 1978 United States Office of Education membiayai pengembangan paket kurikulum "critical TV viewing skills" berskala nasional untuk empat jenjang pendidikan: dasar, menengah, atas, dan kolej. Keterampilan menonton kritis ini didefinisikan sebagai: "Faktor-faktor yang memungkinkan seseorang untuk memperbedakan (to distinguish) di antara serangkaian unsur-unsur program yang luas sehingga mereka dapat membuat alasan yang sah untuk waktu yang digunakan buat menonton TV."
Kemudian pertemuan para pakar yang diselenggarakan oleh Unesco tahun 1979 merumuskan konsep pendidikan media sebagai mencakup "segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada semua tingkat (dasar, menengah, tinggi, dewasa dan pendidikan seumur hidup)... dan dalam semua konteks, sejarah, kreativitas, penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu keterampilan teknis dan praktis sekaligus sebagai lahan yang ditempati oleh media dalam masyarakat, dampak sosialnya, implikasi komunikasi bermedia, partisipasi, modifikasi modus dari persepsi yang dihasilkannya, peran karya kreatif dan akses ke media".
Rumusan itu lantas diperjelas pada sidang umum Unesco ke-25, November 1989, bahwa "pengembangan pendidikan media yang kritis dengan menekankan pengembangan kesadaran kritis, kemampuan untuk bereaksi terhadap segala informasi yang diterima dan pendidikan bagi para pengguna media untuk mempertahankan hak-hak mereka, membentuk pendidikan media".
Untuk konkretnya, Masterman (1988) menyarankan agar pendidikan media hendaklah mengembangkan kepercayaan diri yang cukup dan kedewasaan yang kritis (critical maturity) pada diri anak agar mereka mau dan mampu menerapkan critical judgement terhadap program televisi dan sajian media lainnya.
Keberhasilan pendidikan media ditandai oleh sejauh mana murid-murid kritikal dalam penggunaan dan pemahaman media ketika guru tidak ada. Tujuan utama pendidikan media seumur hidup tidak hanya kesadaran dan pengertian yang kritikal (critical awareness) melainkan suatu otonomi yang kritis (critical autonomy). Kalau tujuan itu dapat dicapai, besar kemungkinan kita tidak lagi menjadi korban dari penyalahgunaan media. Dampak negatif dan pengaruh yang tidak diinginkan dari pesan-pesan media juga diharapkan bisa dikurangi.












Tujuan Media Literacy :

Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan.















Fenomena Masyarakat kepada Media :
Dari waktu ke waktu, banyak sekali kasus mengenai dampak media terutama siaran televisi di Indonesia. Misalnya, akibat meniru adegan di televisi, seorang anak kehilangan nyawanya. Maliki yang berusia tiga belas tahun, tewas setelah mempraktikkan adegan bunuh diri dalam film India di televisi. Rentetan kasus dampak negatif televisi seakan tidak ada habisnya. Masih segar dalam ingatan, kasus "Smack Down" yang juga menelan korban jiwa. Reza, seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban, setelah temannya mempraktikkan adegan smack down kepadanya. Ternyata kasus Reza bukan kasus yang terakhir, ada kasus lainnya di Bandung yang berkaitan dengan tayangan Smack Down. Angga Rakasiwi yang berusia 9 tahun, seorang murid Sekolah Dasar Babakan Surabaya 7 di Kiaracondong, memar-memar karena bermain ala Smack Down dengan teman sekelasnya. Raviansyah (5 tahun), murid sebuah Taman Kanak-kanak di Margahayu Kecamatan Margacinta, terluka setelah bermain Smack Down dengan temannya. Raviansyah bahkan kabarnya sempat muntah darah.
Dampak negatif televisi tidak hanya pada perubahan perilaku, tetapi juga kepada karakter dan mental penontonnya, terutama anak-anak. Stasiun televisi cenderung menyajikan tayangan yang homogen pada pemirsanya. Meski judulnya beragam namun sebenarnya isinya hampir seragam. Beberapa jenis tayangan tersebut di antaranya adalah, sinetron yang kerap dibumbui dengan kekerasan, hedonisme, seks, mistik atau berbagai tayangan infotainment yang disuguhkan dari pagi hingga petang. Ketika diprotes, produser dan pengelola siaran televisi akan beralasan bahwa tayangan-tayangan tersebut dibuat sesuai selera pasar. Buktinya ratingnya tetap tinggi yang berarti diminati oleh masyarakat.
Kasus lain adalah keluhan seorang ibu karena anaknya yang berusia 3,5 tahun bicaranya cadel dan tergagap-gagap. Ternyata anak tersebut meniru karakter utama dalam sinetron Si Yoyo. Sinetron tersebut menampilkan sosok pemuda lugu, yang memiliki perilaku dan pola pikir seperti anak kecil. Terbukti bahwa sinetron tersebut telah menjadi "sihir" bagi anak-anak, sehingga banyak yang meniru karakter si Yoyo.
Setidaknya ada 3 hal penting yang perlu disimak dalam menelaah interaksi antara anak dengan media massa: Pertama, intervensi media terhadap kehidupan anak akan makin bertambah besar dengan intensitas yang semakin tinggi. Pada saat budaya baca belum terbentuk, budaya menonton televisi sudah sangat kuat. Kedua, kehadiran orangtua dalam mendampingi kehidupan anak sehari-hari akan semakin berkurang akibat pola hidup masyarakat modern yang menuntut aktivitas di luar rumah. Ketiga, persaingan bisnis yang makin ketat antar media dalam merebut perhatian khalayak termasuk anak-anak telah mengabaikan tanggungjawab sosial, moral, dan etika, serta pelanggaran hak-hak konsumen. Hal ini diperparah dengan sangat lemahnya regulasi di bidang penyiaran.
Munculnya berbagai dampak tersebut, pada umumnya dapat dilihat sebagai akibat dari kurangnya pemahaman orangtua dalam mengatur dan menjembatani interaksi anak dengan televisi. Dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan orangtua dan guru, mereka merasa tidak berdaya dalam menghadapi persoalan ini. Mereka lebih meletakkan harapan pada peran pemerintah dan industri penyiaran televisi agar mendisain ulang program siaran mereka yang sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Indonesia sehingga tidak berpengaruh buruk pada anak-anak. Sikap ketidakberdayaan inilah yang harus dikikis dengan memberikan penyadaran bahwa kuncinya bukanlah pada orang lain atau pihak lain, tetapi ada pada si orangtua dan anak itu sendiri. Karena, baik pemerintah maupun industri penyiaran televisi adalah dua pihak yang pada saat ini tidak bisa diharapkan dan tidak akan mampu memenuhi harapan para orangtua.
Untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif buruk dari televisi tentunya tidak dapat didiamkan begitu saja. Dibutuhkan sebuah kemampuan untuk menyikapi media ini dengan bijaksana. Tapi bagaimana mungkin masyarakat dapat bersikap kritis terhadap media jika masyarakat tidak diajarkan bagaimana caranya. Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan kurikulum pendidikan di Indonesia. Pendidikan mengenai media hampir terlupakan. Agenda pendidikan media sama sekali belum diperhitungkan oleh penyelenggara negara, khususnya pemegang otoritas pendidikan. Padahal media memiliki kekuatan untuk menjalankan hidden curriculum (kurikulum terselubung) baik yang konstruktif maupun destruktif.
Cukup banyak orang yang seperti anak tersebut, tidak mengerti dan paham makna sesungguhnya dari pesan-pesan yang mereka konsumsi dari media. Tidak dapat ditawar lagi, audiens harus memiliki pengertian yang tepat tentang isi media sekarang ini. Dengan kata lain, khalayak pada masa kini harus melek media.
Setiap orang perlu melek media karena sekarang kita benar-benar hidup di abad media. Ke mana pun Anda pergi, Anda akan menemukan media. Bagi khalayak Indonesia, saat ini tersedia berbagai media cetak dan elektronik, ratusan stasiun radio plus belasan stasiun TV.
Sudah pula menjadi pemandangan umum orang berponsel ria di mana saja. Menurut perkiraan, pengguna HP di Tanah Air sekarang berjumlah sekitar 23 juta orang. Selain itu, kalangan muda kita bahkan sudah cukup banyak yang terbiasa ngobrol via internet atau chatting. Mereka itu merupakan bagian yang utama dari sekitar 10 juta pengguna internet di negeri kita sekarang.
Maka cocoklah jika Masterman (1988), mengatakan "saat ini kita hidup di abad public relations yang universal, suatu abad yang ditandai dengan misinformation dan disinformation, abad di mana politik makin bergabung dengan iklan, dan di mana images tampil dengan lebih substansi daripada isu dan argumen. Pendeknya, masa di mana rekayasa kesepakatan publik (public consent) yang meliputi suatu rentang persoalan yang luas merupakan suatu bisnis besar".
Dalam abad seperti itu orang harus pandai-pandai dalam mengarungi arus informasi yang terus mengalir dari berbagai sumber dan saluran. Jika tidak, bukan mustahil akan keliru menafsirkan dan salah menyerap pesan-pesan yang beraneka ragam bentuk dan kandungannya. Bila hal itu yang terjadi, berbagai dampak yang tidak diharapkan akan menimpa khalayak selaku pihak yang dikenai oleh pesan media.
Nah, agar kita sebagai pengguna media tidak keliru dalam mencerna dan menginterpretasikan isi sajian media yang kita konsumsi, perlu memiliki bekal dan ketahanan. Terutama karena isi sajian media sendiri yang memang mengandung potensi stimulan ke arah terjadinya dampak yang tidak diinginkan. Sifat dan karakter masing-masing medium --bila tidak dipahami secara menyeluruh-- ikut memungkinkan timbulnya akibat tersebut. Demikian pula keadaan lingkungan (fisik dan sosial) masyarakat yang sering kali ikut menyumbang timbulnya dampak yang dimaksud









Analisis
Sejatinya, TV membahayakan bagi anak, tidak semua acara aman untuk anak. Yayasan Pengembangan Media Anak mengemukakan bahwa pada tahun 2004 acara untuk anak yang aman hanya sekira 15% saja. Oleh karena itu harus betul-betul diseleksi. Saat ini jumlah acara TV untuk anak usia prasekolah dan sekolah dasar perminggu sekitar 80 judul ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 170 jam. Padahal dalam seminggu ada 24 jam x 7 = 168 jam! Acara TV bisa dikelompokkan dalam 3 kategori:
1. Acara yang ‘Aman’: tidak banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis. Acara ini aman karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Anak-anak boleh menonton tanpa didampingi.
2. Acara yang ‘Hati-hati’: isi acara mengandung kekerasan, seks dan mistis namun tidak berlebihan. Tema cerita dan jalan cerita mungkin agak kurang cocok untuk anak usia SD sehingga harus didampingi ketika menonton.
3. Acara yang “Tidak Aman”: isi acara banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis yang berlebihan dan terbuka. Daya tarik yang utama ada pada adegan-adegan tersebut. Sebaiknya anak-anak tidak menonton acara ini.
TV juga rentan bagi perkembangan otak anak usia 0-3 tahun, dalam masa ini TV dapat dapat menimbulkan gangguan perkembangan bicara, menghambat kemampuan membaca-verbal maupun pemahaman. TV juga menghambat kemampuan anak dalam mengekspresikan pikiran melalui tulisan, meningkatkan agresivitas dan kekerasan dalam usia 5-10 tahun, serta tidak mampu membedakan antara realitas dan khayalan. TV juga mendorong anak menjadi konsumtif, bepengaruh pada sikap anak yang yang belum memiliki daya kritis yang tinggi. Mereka bisa jadi berpikir bahwa semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Hal ini akan mempengaruhi sikap mereka dan dapat terbawa hingga mereka dewasa. TV juga dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa TV yang simpel, memikat, dan membuat ketagihan sehingga sangat mungkin anak menjadi malas belajar. Hal ini berikutnya membentuk pola pikir sederhana anak.
Terlalu sering menonton TV dan tidak pernah membaca menyebabkan anak akan memiliki pola pikir sederhana, kurang kritis, linier atau searah dan pada akhirnya akan mempengaruhi imajinasi, intelektualitas, kreativitas dan perkembangan kognitifnya. TV juga dapat mengurangi konsentrasi anak, rentang waktu konsentrasi anak hanya sekitar 7 menit, persis seperti acara dari iklan ke iklan, akan dapat membatasi daya konsentrasi anak. TV juga mengurangi kreativitas. Dengan adanya TV anak-anak jadi kurang bermain, mereka menjadi manusia-manusia yang individualistis dan sendiri. Setiap kali mereka merasa bosan, mereka tinggal memencet remote control dan langsung menemukan hiburan. Sehingga waktu liburan, seperti akhir pekan atau libur sekolah, biasanya kebanyakan diisi dengan menonton TV. Mereka seakan-akan tidak punya pilihan lain karena tidak dibiasakan untuk mencari aktivitas lain yang menyenangkan. Ini membuat anak tidak kreatif.
Selain, hal-hal di atas, TV juga berpotensi meningkatkan kemungkinan obesitas (kegemukan). Dengan menonton TV, maka jam berolahraga dengan kurang cukup, TV membentuk pola hidup yang tidak sehat. Penelitian membuktikan bahwa lebih banyak anak menonton TV, lebih banyak mereka mengemil di antara waktu makan, mengonsumsi makanan yang diiklankan di TV dan cenderung memengaruhi orangtua mereka untuk membeli makanan-makanan tersebut. Anak-anak yang tidak mematikan TV sehingga jadi kurang bergerak beresiko untuk tidak pernah bisa memenuhi potensi mereka secara penuh. Selain itu, duduk berjam-jam di depan layar membuat tubuh tidak banyak bergerak dan menurunkan metabolisme, sehingga lemak bertumpuk, tidak terbakar dan akhirnya menimbulkan kegemukan.
TV juga berpotensi merenggangkan hubungan antar anggota keluarga. Kebanyakan anak menonton TV lebih dari 4 jam sehari sehingga waktu untuk bercengkrama bersama keluarga biasanya ‘terpotong’ atau terkalahkan dengan TV. 40% keluarga menonton TV sambil menyantap makan malam, yang seharusnya menjadi ajang ’berbagi cerita’ antar anggota keluarga. Rata-rata, TV dalam rumah hidup selama 7 jam 40 menit. Yang lebih memprihatinkan adalah terkadang masing-masing anggota keluarga menonton acara yang berbeda di ruangan rumah yang berbeda.
TV juga menjadikan remaja matang secara seksual lebih cepat. Banyak sekali sekarang tontonan dengan adegan seksual ditayangkan pada waktu anak menonton TV sehingga anak mau tidak mau menyaksikan hal-hal yang tidak pantas baginya. Dengan rangsangan TV yang tidak pantas untuk usia anak, anak menjadi matang secara seksual lebih cepat dari seharusnya. Dan sayangnya, dengan rasa ingin tahu anak yang tinggi, mereka memiliki kecenderungan meniru dan mencoba melakukan apa yang mereka lihat. Akibatnya seperti yang sering kita lihat sekarang ini, anak menjadi pelaku dan sekaligus korban perilaku-perilaku seksual.
Relitas TV yang kuat dan membahayakan perkembangan otak, sikap, kesehatan, ekonomi dan sosial tersebut harus disikapi secara bijaksana oleh guru, orang tua, ataupun fasilitator. Kekuatan TV sulit dilawan, oleh karenanya TV harus dijakan mitra dalam pembelajaran. Bahkan kalau perlu diadakan kegiatan intrakurikuler yang bersifat mendiskusikan TV dan tayangannya, 2 jam dalam seminggu.





Kesimpulan

· TV yang begitu kuat harus dijadikan mitra. Karena kekuatannya tersebut, teknologi pembelajaran/guru/orangtua harus secara aktif mendesain sistem dan strategi untuk menjadikan tayangan TV sebagai pembelajaran, bahkan mendesak untuk memasukkan program ini sebagai mata pelajaran yang berlaku secara nasional. Teknologi pembelajaran dapat mempelopori ini dengan membuat Rencana Strategis untuk Manajemen Isu yang dapat mempengaruhi banyak pihak, terutama parlemen dan pemerintah.









Lampiran
Sumber :
· www.google.com
· Penulis mengajar matakuliah Media dan Masyarakat di jurusan ilmu komunikasi FISIP-UI, Depok Oleh Zulkarimein Nasution
· Harian JogloSemar Solo,Koran Anyer

Hari,Tanggal, dan Jam :
· 25 October 2007 11:27
· Kamis,10 Mei 2007 07:31:10
· Literacy Media ,18 July 2007 03:19 pm
· 8/11/04
· Kamis, 18 January 2007
· 12 November 2007

Indonesian Communication System

PRATIWI
ADV 10 – 2b
Indonesian Communication System
22 September 2008
Menggali Fenomena Maraknya Hotspot


Sudah bukan hal baru lagi bagi kita saat melihat pengunjung mall dengan antusias melahap berita dari Internet melalui laptop di depannya, dengan hanya ditemani sebotol teh atau camilan. Atau sekelompok mahasiswa yang menghabiskan waktunya di lingkungan kampus demi 'gratisan' Internet setiap hari. Namun jika kita cermati dengan baik, sebenarnya apakah sasaran utama dari penyediaan layanan ini pada ruang publik kita?

Memang ada banyak sekali alasan untuk suatu pihak memasang hotspot pada lokal area bisnisnya. Sebut saja kampus, karena institusi pendidikan ini mempunyai tujuan paling ‘mulia’ dalam pemasangan hotspot. Tujuan utama suatu kampus dalam menyediakan layanan hotspot tentu saja untuk memperluas akses civitas akademikanya terhadap informasi global melalui Internet, disamping mungkin juga mengembangkan komunitas e-learning yang mereka miliki. Walaupun tidak bisa dipungkiri juga terselip aspek bisnis dalam motivasinya. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sejauh mana ketepatan layanan ini mencapai sasarannya? Benarkah dalam sebuah kampus, era Internet kabel sudah harus digantikan oleh hotspot. Ataukah hanya sekedar sebagai strategi bisnis dalam persaingan dunia pendidikan yang kian ketat?
Seperti yang kita tahu, sejak banyaknya kampus menyediakan layanan hotspot, memang kampus tersebut berhasil menjadi 'rumah kedua' bagi sebagian mahasiswa. Namun sebenarnya untuk alasan apakah mereka betah berlama-lama tinggal di kampus dengan laptop atau PDA-nya, mungkin harus dikaji lebih dalam. Yang jelas tidak sepenuhnya motivasi mereka untuk 'tinggal di kampus' terkait dengan tugas kampus yang harus dikerjakannya. Banyak diantaranya yang memanfaatkannya sekedar karena 'gratis'. Karena seperti yang diketahui bersama, biaya komunikasi di Indonesia, termasuk untuk koneksi Internet, masih relatif mahal jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Itulah mengapa para mahasiswa ini lebih memilih 'gratis' di kampus, daripada 'bayar' di luar. Tentu saja semua itu sangat rasional.
Pastinya sebuah kampus sudah mempertimbangkan kemungkinan seperti tersebut di atas, sebelum mereka memutuskan untuk memasang hotspot. Jika sudah dapat menduga, mengapa juga mereka tetap memasangnya? Tak lain adalah karena pertimbangan aspek bisnis, karena seperti yang kita tahu, dunia pendidikan pun saat ini merupakan lahan bisnis yang potensial. Untuk dapat bersaing menjadi sebuah perguruan tinggi papan atas, tentunya tak semata kualitas pendidikan yang harus diperhatikan. Aspek fasilitas kampus merupakan salah satu faktor penentu layak tidaknya sebuah perguruan tinggi disebut 'bergengsi'. Bayangkan jika sebuah perguruan tinggi ternama sekelas UGM atau UI tidak mempunyai hotspot. Apa kata dunia? Itulah mengapa saat ini banyak kampus berlomba memperbaiki infrastrukturnya, termasuk infrastruktur IT-nya.
Lalu bagaimana dengan pemasangan hotspot pada suatu pusat keramaian? Seperti yang banyak kita lihat saat ini, banyak ruang publik yang menyediakan fasilitas hotspot. Untuk yang satu ini, alasannya sangat mudah ditebak, tak lain dan tak bukan adalah aspek bisnis semata. Ya, sebuah ruang publik yang menyediakan hotspot pastilah akan menarik bagi para surfer untuk mendatanginya, dan para surfer ini biasanya berasal dari ekonomi menengah ke atas. Ini merupakan suatu nilai tambah bagi proses marketing suatu pusat keramaian. Entah itu hotspot yang bersifat free hingga hotspot yang berbayar sekalipun kenyataannya tetap merupakan hal yang menarik, apalagi untuk kalangan muda di kota-kota besar, yang didominasi oleh pelajar dan mahasiswa dari berbagai penjuru daerah. Tentu saja mereka merupakan target market yang potensial. Hitung saja sudah berapa pusat perbelanjaan maupun hiburan di sekitar kita yang memasang fasilitas ini, mulai dari Mall hingga kafe-kafe, semua berlomba memperlengkapi diri dengan fasilitas ini. Tak lain hanyalah untuk menarik pengunjung sebanyak mungkin untuk memperlancar bisnis mereka masing-masing.
Jadi sebenarnya hal terpenting dari fenomena maraknya pemasangan hotspot saat ini adalah bukan untuk apa mereka memasangnya, namun bagaimana kita memanfaatkannya. Orang yang memakai layanan tersebut hanya untuk sekedar mengetahui gossip artis dan film terkini tentunya tidak akan mendapat manfaat yang sama dengan orang yang memakainya untuk bekerja melihat harga saham di pasaran terkait dengan berita terbaru kebijakan pemerintah. Begitu juga dengan mahasiswa, walaupun sama-sama mendapat akses gratis di kampus, tergantung dengan bagaimana mereka akan memanfaatkannya.
http://www.beritanet.com

a. Perspektif Evolusioner :
Perubahan yang terjadi dari zaman dahulu hingga sekarang sangatlah cepat dan maju, yang dulu tadi nya berkomunikasi hanya dengan melalui kirim surat lewat kantor pos, kemudian berkembang melalui televisi, radio dan sekarang dengan berkembangnya technology yang semakin maju muncullah penemuan baru seperti internet. Bahkan sekarang internet sudah dapat merambak ke pedesaan atau bahkan ke tempat – tempat terpencil.
Maka dari itu maraknya hotspot sangatlah baik dan berfungsi bagi semua manusia untuk berkomunikasi,mencari informasi, dan bahkan untuk bersosialisasi.
Tujuannya :
Untuk mencari informasi dan bersosialisasi dengan orang lain, atau untuk sekedar mengisi waktu luang.
Adaptasi :
Hotspot dapat beradaptasi diberbagai tempat apabila didukung dengan alat – alat dan system yang sudah ada. Karena sudah banyak tempat – tempat yang menggunakan hotspot ini untuk berbagai kepentingan seperti di mall untuk menarik banyak pengunjung yang ada, sekarang ini malah hampir semua kampus sudah ada hotspotnya sendiri untuk memudahkan mahasiswanya dalam mencari informasi.
Bersosialisasi
Dengan adanya hotspot ini maka semua pengguna hotspot tersebut dapat bersosialisasi dengan orang lain atau dapat disebut juga dengan online. Bahkan sekarang ini sudah mulai muncul berbagai handphone yang dapat digunakan untuk berhotspot ria.
Pemeliharaan Pola
Dalam hal ini pemeliharaannya baiknya untuk hal – hal yang positif saja. Agar tidak salah digunakan oleh banyak pihak yang hanya iseng- iseng saja. Dan pastinya dijaga system dan prosedurnya dengan baik dan benar.

b. Konflik Sosial
Konflik yang ada di sini yaitu banyak para golongan pengusaha atau pemilik modal yang justru makin memperbanyak mengeluarkan link – linknya ke berbagai tempat tapi tidak memikirkan golongan menengah ke bawah yang juga ingin lebih maju dan lebih baik lagi untuk bermotivasi.

c. Symbolic Interactionisme
Dengan adanya hotspot ini maka banyak para pengusaha yang termotivasi untuk terus melakukan perkembangan usahanya. Atau banyak juga manusia yang bermotivasi untuk melakukan penemuan –penemuan barunya agar perkembangan technology di Indonesia semakin maju lagi.

advertising management

CREATIVE

Target Audience :
AGE : 16 – 30th
The reason because for many poeples that still and happy to use the jeans
SEX : Male and Female
The public for man and female is still like to use the jeans
SES : A and B
Because our product we sell for group medium until high class
Lifestyle:

Occupation: Teenagers and Employee
Publicity teenagers and also employeers often to used the jeans


Creative Strategy

a. Advertising Objectives :
can menjangkau masyarakat luas
make people can be more then to know our product
make people to be interest with our product

b. Key messeges
Promise : Be Confident
Rationale : With use our product can make yours to be
Comfortable and confident


Media Strategy

c. Media Selection :
Primary media : TV and Magazine
Because in order that people can be more see and to know our product
Secondary media : Newspaper and Tabloid
Because in secondary media is usually the group medium can also see and know our product too

d. Media Schedule : because all of the target of advertising suppost to be a rules to built a client to get they satisfied

Evaluation and Testing
e. Explain AIDA and illustrate how it work in TV :

















The type of advertising agency and our service for the product :

Give free cutting, Why?
Because most of people of Indonesia is not quit tall for the jeans size



Report 3 advantages using a celebrity to promote our product :
If we use the popular artist for our advertise its make our brand familiar faster
Have a good image for our brand
We can get expensive price in our sells

3 disadvantages using a celebrity to promote our product :
Spend a lot money
People come from the lower class can’t buy our product
And usually we can’t make sure to contract the artist to be long in our product